PPS Cilacap Dalam Rangka Hari Nusantara ke.11


PPS Cilacap, Jum’at (10/12/2010) pukul 07.30 WIB sampai dengan 09.30 WIB, mengadakan kerja bakti bersih lingkungan.

Kerja bakti bersih lingkungan di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap dilaksanakan oleh seluruh karyawan PPS Cilacap, sesuai instruksi dari Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap W.Haryomo, A.Pi, SE, MSi, sebagai tindak lanjut surat edaran dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap No.5646/DPT.0/TU.210.S1/XI/2010 tentang peringatan hari Nusantara ke.11 (sebelas) tahun 2010 untuk mengadakan kerja bakti masal meliputi, bersih pantai, kolam pelabuhan serta dermaga.

Lokasi kerja bakti bersih lingkungan di PPS Cilacap yaitu membersihkan kolam pelabuhan A dan C meliputi badan air dan daratan sekitarnya.

Selain kegiatan kerja bakti, sebelumnya juga telah dilaksanakan sosialisasi gemar makan ikan yang dilaksanakan di SD Negeri 01 dan 02 Gunung Simping Cilacap tanggal 19 Nopember 2010 serta di SD Negeri 01 dan 02 Sidanegara Cilacap tanggal 26 Nopember 2010. dengan membagikan produk olahan ikan siap saji.

Acara sosialisasi ini mendapat sambutan yang baik dari anak-anak sekolah yang dijadikan lokasi sosialisasi.(cs)

PEMBINAAN ORGANISASI PEGAWAI PPS CILACAP 2010


Minggu, 12 Desember 2010 bertempat di Hotel Tanjung Intan Cilacap, diselenggarakan Pembinaan Organisasi Pegawai Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap.

Acara Pembinaan tersebut di buka oleh Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap W Haryomo, A.Pi, SE, MSi. Dalam sambutannya mantan Kepala PPS Kendari tersebut mengatakan bahwa Program Pembinaan Organisasi Pegawai diadakan setiap tahun, dengan maksud untuk lebih mempererat tali persaudaraan dan kebersamaan bagi keluarga besar PPS Cilacap dan diharapkan dapat meningkatkan kinerja karyawan dan karyawati PPS Cilacap.

Pembinaan Organisasi Pegawai dihadiri oleh seluruh karyawan/karyawati PPS Cilacap beserta keluarga dengan narasumber Kepala Bagian Kepegawaian Ditjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Ir.Sudaryati. Beliau sangat berterima kasih kepada Kepala PPS Cilacap, karena bisa mengumpulkan keluarga besar PPS Cilacap. Selanjutnya Ir.Sudaryati menghimbau agar acara seperti ini untuk kedepannya diadakan lebih besar lagi, dan berlokasi di alam terbuka. Tak lupa Beliau juga menyampaikan tentang Pelayanan kepada Masyarakat agar lebih ditingkatkan, jangan mempersulit untuk memberi pelayanan kepada masyarakat khususnya nelayan, tambah beliau.

Dalam arahan tersebut juga diadakan tanya jawab langsung dengan para pegawai PPS Cilacap. Usai arahan dari Kabag Kepegawaian, selanjutnya Kalabuh W.Haryomo, A.Pi, SE, MSi menyampaikan tentang Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) Pelabuhan Perikanan, diharapkan para pegawai PPS Cilacap mengetahui dan memahami serta dapat melaksanakan tugasnya masing-masing. Tak lupa Kepala PPS Cilacap pun memberi kesempatan kepada para Pegawai PPS Cilacap untuk tanya jawab tentang masalaha-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas masing-masing.

Acara Pembinaan Organisasi Pegawai di tutup dengan Tausiah dan do’a yang disampaikan oleh Ustadz H.Hasan Makarim, Pengurus ICMI Kab.Cilacap. Beliau menyampaikan bahwa dalam bekerja diperlukan ke ikhlasan, tidak usah mengharapkan hasil kerja kita dilihat oleh atasan.

Dan sebelum acara di tutup, Panitia memberikan hadiah door prize kepada para karyawan/karyawati yang beruntung.(cs)

Study Banding ke PPS Kendari

Tiga (3) orang Pegawai dari Bagian Tata Usaha Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap ’Eko Yuliani, A.Pi, Daniel Wahyu S, S.Sos dan Anggoro Hari sapto, SE mengadakan study banding ke Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari (17-20/10/2010) tentang tata kerja di Bagian Tata Usaha.
              Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari dipilih untuk tujuan study banding, karena dinilai PPS Kendari merupakan salah satu pelabuhan kelas samudera yang berjalan cukup baik kinerjanya. Sebagai contoh ; di PPS Kendari seorang bendahara pengeluaran di tempatkan pada ruangan tersendiri dengan dibantu empat (4) orang pegawai dalam menyelesaikan administrasi keuangan dengan pembagian tugas yang jelas, Petugas SAI membantu Bendahara dalam pembuatan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTB) juga Daftar Rincian Permintaan Pembayaran dan Pelaporan Pajak, lalu Petugas Pembuat Pelaporan Detail Anggaran (DA) membantu Bendahara Pengeluaran dalam pembuatan surat Permintaan Pembayaran (SPP) dan pembuatan Surat Perintah Membayar (SPM). Sedangkan sistim pengarsipan dan pemberkasan administrasi keuangan sudah tertata dengan rapi dan baik.
Untuk kegiatan perjalanan dinas, setelah melaksanakan kegiatan harus melapor kepada Pimpinan (Kepala Pelabuhan) secara lisan serta membuat laporan tertulis sebagai pertanggung jawaban kegiatan.
PPS Kendari melakukan rapat evaluasi secara rutin terhadap Pimpinan dan Pejabat Struktural setiap bulan, untuk mengevaluasi kegiatan di Pelabuhan. (cs)

Pembangunan Prasarana Pengolahan Ikan di PPS Cilacap

        Pembangunan prasarana pengolahan hasil perikanan di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap guna menampung para pengguna jasa di wilayah Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap, untuk mengolah ataupun menjemur serta menyimpan.
Pembangunan prasarana tersebut di laksanakan oleh CV.Suhada Cilacap, direncanakan selama 135 hari kalender, dimulai sejak 07/07/2010 sampai dengan 18/11/2010 dengan biaya dari ABPN sebesar Rp.482.155.000,-
Pembangunan prasarana pengolahan dan tempat penjemuran ikan tersebut berada di kawasan industri PPS Cilacap sebelah timur, dengan cara pembangunan yang bertahap. Untuk tahun ini pembangunan tempat pengolahan / kios sebanyak 4 (empat) kopel dengan ukuran perkopel 5x6 M²,  sedangkan MCK berukuran 6x3,5 M² serta areal parkir seluas 869 M² dan saluran air kotor (115,2 M¹), saluran air hujan (106 M').
Keadaan tanah yang merupakan bekas pembuangan puing-puing serta cuaca yang tidak menentu merupakan kendala yang dihadapi pada pembangunan tersebut, sehingga pekerjaan lembur harus ditempuh guna menanggulangi masalah tersebut. (cs)

Pengerukan Kolam dan Alur pelayaran PPS Cilacap 2010

Pengerukan Kolam dan alur pelayaran di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap bertujuan guna memperlancar kegiatan operasional dan lalu lintas kapal perikanan yang keluar,masuk dan bersandar di PPS Cilacap.
Pengerukan Kolam lama dan baru serta alur pelayaran di PPS Cilacap direncanakan selama 120 hari kalender yang dimulai 08/07/2010 sampai 04/11/2010, dengan biaya dari APBN sebesar Rp.1.605.000.000,-.
Kontraktor pengerukan tersebut di laksanakan oleh PT.Indira Karya Cilacap dengan menggunakan excavator di atas tonton dan tonton tampung Pengerukan sedimentasi  kolam berupa pasir dan lumpur tersebut  akan diangkat ke daratan sebanyak 29.639,78 Meter kubik. Dengan ke dalaman pengerukan rata-rata –2,5 LWS.
Sedimentasi yang terlalu padat/keras serta kondisi cuaca yang tidak menentu merupakan suatu kendala dan tantangan bagi kontraktor tersebut, hingga para pekerja diwjibkan untuk bekerja secara lembur.(cs)

Study Banding dari PPN Kejawanan

Dalam rangka peningkatan Sumberdaya manusia serta memperluas wawasan pengetahuan dalam upaya peningkatan Kebersihan, Keindahan, Ketertiban, Keamanan dan Keselamatan kerja yang terkait kegiatan K5, Pelabuhan Perikanan Nusantara Kejawanan Cirebon melakukan study banding di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap, Kamis (11/11/2010).
              Kegiatan study banding tersebut diikuti oleh tujuh (7) orang pegawai dari Subbag Tata Usaha Pelabuhan Perikanan Nusantara Kejawanan Cirebon yang diambut oleh Kepala Bagian Tata Usaha ‘Drs. Eno Sandy Prayitno, MM serta didampingi oleh Kepala Sub bagian Umum ‘Eko Yuliani, A.Pi di ruang pertemuan kantor Pelabuhan Perikanan Samudera CIlacap.
Beberapa hal dibicarakan diruang tersebut, terutama yang menyangkut tentang K5 serta sekilas tentang Operasional dan Kegiatan di PPS Cilacap.
Tidak hanya itu saja, Pelaksana dari PPN Kejawanan Cirebon juga meninjau langsung kelapangan (Wilayah PPS Cilacap) yaitu, TPI, Dermaga serta areal PPS Cilacap. (cs)

Kunjungan Biro Kepegawaian

Kunjungan dari Biro Kepegawaian Kementerian Kelautan dan Perikanan ‘……..dan….’ dalam rangka Penghimpunan Tata Naskah Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (11/11/2010)
              Kepala Bagian Tata Usaha ‘Drs. Eno Sandy Prayitno,MM’ didampingi Eko Yuliani, A.Pi selaku Kepala Sub Bagian Umum menyambut kedatangan dari biro kepegawaian tersebut di ruang  tata usaha.
Usai beramah tamah dengan Kepala Bagian Tata Usaha, ‘………’ tampak saling bertanya jawab dengan ‘Nasam’ petugas /pelaksana tata naskah di PPS Cilacap mengenai kearsipan dan persuratan.
Selanjutnya beliau menjelaskan tentang ujian dinas (PI) dan DIKLATPIM untuk Pejabat Eselon di PPS Cilacap yang belum mengikuti Diklat agar diusulkan mengikuti Diklat tersebut. (cs)

Sosialisasi Balai Pengkajian Dinamika Pantai di PPS Cilacap

Dalam Pelaksanaan Penelitian Kegiatan Rancang Bangun Rekayasa Struktur Pantai, BPDP - BPPT Yogyakarta mengadakan Sosialisasi di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap, Kamis (11/11/2010).  Sosialisasi tentang lapis lindung (Armor Layer) untuk bangunan pengaman pantai atau bangunan pelabuhan tersebut dipimpin oleh Ir. Zuhdan Jauzi, MEng beserta tim dari BPPT Yogyakarta. Acara tersebut di buka oleh ‘Drs. Eno Sandy Prayitno, MM’ selaku Kepala Bagian Tata Usaha yang mewakili Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap, dan didampingi oleh Kepala Bidang Tata Operasional ‘A.Hardono Usodo, A.Pi, MM, serta dihadiri oleh para Pejabat Struktural dan beberapa staf dari PPS Cilacap.

Ir. Zuhdan Jauzi, M.Eng menjelaskan tentang, ‘bangunan pantai seperti pelabuhan, dermaga, causeway, revetment, turap, jetty, breakwater, tembok atau tanggul laut  sering menggunakan material jenis batu, beton atau pasangan dari batu kali. Secara umum tipe tanggul/tembok laut ada dua (2) macam yang mana penggolongan tersebut didasarkan pada kedapan dari bangunan, yaitu tembok/tanggul laut tipe massif (monolit) dan tembok/tanggul laut tipe tidak massif.’
Lebih lanjut perekayasa madya dari BPPT tersebut mengatakan bahwa, ‘kontruksi tumpukan batu untuk tembok laut mempunyai banyak keuntungan, diantaranya dapat meredam energy gelombang,  tidak membutuhkan kondisi tanah dasar yang prima, konstruksi relative murah, dan pembangunan relative mudah.’
 Tembok/dinding laut yang banyak dipergunakan di Indonesia khususnya wilayahJawa (Cilacap) merupakan dinding laut tipe tidak masiff dan beberapa tipe masiff dengan menggunakan lapis lindung (armor layer) seperti kubus, tetrapot, dolos dan ajack, yang kesemuanya itu merupakan hak paten dari luar negeri, sehingga pada waktu penggunaan tersebut harus membayar royalty ungkap Ir. Zuhdan Jauzi, MEng.
Sosialisasi dari Balai Pengkajian Dinamika Pantai tersebut memperkenalkan tentang desain dan perekaysaan diamond-loc (bentuk baru unit amor). Secara engineering, diamond-loc berorientasi kepada sifat saling mengunci antar unit, lapis tunggal dan penempatannya secara acak. Diamond-loc diharapkan  memiliki performance yang tinggi  secara teknis dan ekonomis, sehingga dapat diterima pemerintah dan masyarakat untuk diaplikasikan di Indonesia. (cs)

SUMBERDAYA PERIKANAN DI KAB.CILACAP

Ketersediaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Cilacap cukup besar, yang mencakup dalam ekosistem marine, pantai, trumbu karang, estuarine, laguna, mangrove, rawa, genangan dan sungai. Kegiatan produksi perikanan meliputi penangkapan, budidaya, penanganan/pengolahan hasil perikanan, distribusi dan pemasaran. Kegiatan usaha penangkapan meliputi di perairan laut dan di perairan umum, serta kegiatan usaha budidaya ikan di tambak, di kolam dan di perairan umum berupa budidaya karamba.
A. Sumberdaya Perikanan Tangkap.
a.1 Perairan Laut
Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan, yang meliputi : (1) Sumberdaya Perairan Pantai, (2) Sumberdaya Perairan Lepas Pantai , dan (3) Sumberdaya Perairan Zona Ekonomi Eksklusif. Luas perairan daerah penangkapan wilayah pantai diperkirakan seluas ± 5.600 km2 ( pada isobath 100 m ) dengan perincian luas sebagai berikut :
- Perairan Teluk Penyu-Gombong lebih kurang 3.500 km2
- Perairan Teluk Pananjung ( Pengandaran ) kurang lebih 1.300 km2
- Perairan selatan Yogyakarta - Pacitan kurang lebih 800 km2
Usaha Penangkapan ikan di wilayah perairan pantai dilakukan hingga jarak ± 12 mil laut dari garis pantai hingga pada kedalaman (isobath) 3 - 100 m atau pada batas garis wilayah perairan teritorial Indonesia.
Potensi sumberdaya ikan di perairan laut selatan Kabupaten Cilacap diperkirakan 72.000 ton, sedangkan pemanfaatan oleh nelayan Cilacap baru mencapai: 14.982,2 ton (21%)/ tahun berdasarkan perhitungan statistik perikanan Kabupaten Cilacap tahun 2009, pemanfaatan potensi sumberdaya ikan tersebut diantaranya: (1) jenis ikan pelagis besar meliputi : Tuna, Cakalang, Tongkol, Tengiri, Marline, Layaran, Lemadang, Cucut, sebesar 7.131,5 ton/tahun, (2) jenis ikan pelagis kecil meliputi: Lemuru, Layang/Selar, Kembung, Teri, Tetengkek, Kuwe, Ubur-ubur, Cumi-cumi sebesar 2.232,8 ton/tahun,serta (3) jenis ikan demersal meliputi : Udang, Kakap, Pari, Kerapu, Layur, Tigawaja, Petek, Bawal, Tembang, Lidah, sebelah, Bloso, Remang, Manyung, Keong, udang, rajungan, dan kepiting sebesar 5.618,3 ton/tahun.


Guru Kebangkitan Asia

Bung Karno dan Bung Hatta menyambut kedatangan Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India, ke Indonesia pada 7 Juni 1950. Mereka bertiga dikenal bersahabat dan sama-sama gigih membela perjuangan rakyat di negara-negara baru merdeka. Saat Bung Karno dan Bung Hatta diasingkan Belanda, PM India tersebut mengadakan Konferensi New Delhi tentang Indonesia, 22 Januari 1949. Dalam pidato pembukaan Konferensi Pandit (Guru) Nehru mengatakan: “… Setiap orang yang mengenal jiwa rakyat Indonesia akan mengetahui bahwa segala upaya menekan nasionalisme dan keinginan merdeka bangsa Indonesia pasti akan gagal.”

sumber

PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT INDONESIA

Semasa hidup Bung Karno tidak senang didewa-dewakan. Hal ini diungkapkan Bung Karno ketika melihat ada gejala yang menuju kepada pendewaan dirinya. “…Saya menghindari segala pendewaan persoon, saya tidak mau didewa-dewakan. Pendewaan seorang pemimpin, pendewaan seorang pemuka adalah satu hal yang salah...” Bung Karno justru merasa dirinya adalah abdi daripada rakyat. Tanpa rakyat Bung Karno bukan apa-apa. Itulah sebabnya mengapa Bung Karno berwasiat, agar kelak bila meninggal dunia di atas batu nisan ditulis kata-kata sederhana: Di sini Beristirahat Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

sumber

Pidato Lahirnya Pantjasila


Paduka tuan Ketua yang mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mullia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan didalam pidato saya ini.
Ma’af, beribu ma’af! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua jang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, jang diminta oleh Paduka tuan ketua jang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: “Philosofische grondslag” dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran jang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat jang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka jang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saja kemukakan, Paduka tuan Ketua jang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saja membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah jang saja artikan dengan perkataan “merdeka”. Merdeka buat saja ialah: “political indepence, politieke onafhankelijkheid. Apakah jang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saja berkata: Tatkala Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saja, didalam hati saja banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota jang - saja katakan didalam bahasa asing, ma’afkan perkataan ini - “zwaarwichtig” akan perkara jang kecil-kecil. “Zwaarwichtig” sampai  - kata orang Jawa - ”njelimet”.
Djikalau sudah membicarakan hal jang kecil-kecil sampai njelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan. Tuan-tuan jang terhormat!  Lihatlah didalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu. Banyak sekali negara-negara jang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara jang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya isi itu!  Djikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai,itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saja bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui, jang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong jang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toch Saudi Arabia merdeka!
Lihatlah pula - djikalau tuan-tuan kehendaki contoh jang lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik jang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku jang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu.
Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan! Maaf, P.T. Zimukyokutyoo!  Berdirilah saja punya bulu, kalau saja membaca tuan punya surat, jang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai njelimet hal ini dan itu dahulu semuanya! 
Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet, maka saja tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mesngalami Indonesia merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, - sampai dilobang kubur!  
(Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara! Apakah jang dinamakan merdeka? Di dalam tahun ‘33 saja telah menulis satu risalah, Risalah jang bernama “Mencapai Indonesia Merdeka”. Maka di dalam risalah tahun ‘33 itu, telah saja katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu  jembatan emas. Saja katakan di dalam kitab itu, bahwa diseberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat. Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam,  - in one night only! -,  kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang! Sesudah “jembatan” itu diletakkan oleh Ibn saud, maka di seberang jembatan, artinya kemudian dari  pa-da itu, Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi arabia. Orang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang jang tadinya bergelandangan sebagai nomade yaitu orang badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum tani, - semuanya diseberang jembatan.
Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet-Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprpros-toff, dam jang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai radio-station, jang menyundul keangkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia?
Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia merdeka  telah  dapat mem-baca dan menulis? Tidak, tuan-tuan jang terhormat! Di seberang jembatan emas jang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio- station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru mengadakan Djnepprostoff! Maka oleh karena itu saja minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini danitu lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannnya tuan-tuan punya semangat, - djikalau tuan-tuan demikian  -, dengan semangat pemuda-pemuda kita jang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saja, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang!
(Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, jang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal semboyan Indonesia merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh ta-hun jang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan “INDONESIA MERDEKA SEKARANG”. Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!
(Tepuk tangan riuh).
Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia merdeka, - kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati! Saudara-saudara, saja peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain  dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan gentar! Djikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang jang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti dengan orang jang bernama Abdul Halim. Djikalau umpamanya Butyoo Butyoo diganti dengan orang-o-rang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid, - in one night, di dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda jang 2 milyun, semuanya bersemboyan: Indonesia merdeka,  se-karang!  Djikalau umpamanya Balatentera Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke-rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia merdeka?
(Seruan: Tidak!  Tidak).
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini  balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan menolak, sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan negara Indonesia jang Merdeka!
(Tepuk tangan menggemparkan).
Saudara-saudara, tadi saja berkata, ada perbedaan antara Soviet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu jang  sama, yaitu, rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan ne-garanya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mem-pertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Inilah jang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan jang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk merdeka.
(Tepuk tangan riuh).
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperban-dingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saja bandingkan dengan perkawinan. Ada jang berani kawin, lekas berani kawin, ada jang takut kawin. Ada jang berkata: Ah saja belum berani kawin, tunggu dulu gajih F 500. Kalau saja sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur jang mentul-mentul, sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset, su-dah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saja berani kawin. Ada orang lain jang berkata: saja sudah berani kawin kalau saja sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu “meja-makan”, lantas satu zitje, lantas satu tempat tidur.
Ada orang jang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat-tidur: kawin.
Sang Ndoro jang mempunyai rumah gedung, elektrische kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana jang lebih gelukkig, belum tentu mana jang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat tidurnya jang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun jang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara!
(Tepuk tangan, dan tertawa)
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian:  kita  ini berani merdeka atau tidak?  Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua jang mulia, ukuran saja jang terlebih dulu saja kemukakan sebelum saja bicarakan hal-hal jang mengenai dasarnya satu negara jang merdeka. Saja mendengar uraian P.T. Soetardjo beberapa hari jang lalu, tatkala menjawab apakah jang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia jang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saja ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka!
(Tepuk tangan riuh).
Di dalam Indonesia merdeka itulah kita me-merdekakan rakyat kita!! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud me-merdekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam Soviet-Rusia Merdeka Stalin memerdekakan  hati bangsa Soviet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu. “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka”. Saja berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di da-lam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk meng-hilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau.  Di  dalam  Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam  Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baik-nya. Inilah maksud saja dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan, jembatan  emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka jang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.
Tuan-tuan sekalian!  Kita sekarang menghadapi satu saat jang maha penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya international recht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita?  Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara jang merdeka, tidak diadakan syarat jang neko-neko, jang menjelimet, tidak!. Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah jang teguh! Ini sudah cukup untuk international recht. Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara jang lain, jang merdeka, inilah jang sudah bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahnya, - su-dahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal jang bukan-bukan! Sekali lagi saja bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka atau tidak?  
(Jawab hadiirin: Mau!)
Saudara-saudara! Sesudah saja bicarakan tentang hal “merdeka”, maka sekarang saja bicarakan tentang hal dasar. Paduka tuan Ketua jang mulia! Saja mengerti apakah jang paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta  dasar , minta  philosophische  grondslag,  atau,  djikalau kita boleh memakai perkataan jang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua jang mulia meminta suatu “Weltanschauung”, diatas mana kita men-dirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri jang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri jang merdeka itu berdiri di atas suatu “Weltanschauung”. Hitler mendirikan Jermania di atas “national-sozialistische Weltanschauung”, - filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jer-mania jang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Soviet diatas satu “Weltanschauung”, yaitu Marxistische, Historisch-materialistische Weltan-schaung. Nippon mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu “Weltanschauung”, yaitu jang dinamakan “Tennoo Koodoo Seishin”. Di atas “Tennoo Koodoo Seishin” inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu “Weltanschauung”, bahkan diatas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah jang diminta oleh paduka tuan Ketua jang mulia: Apakah “Weltanschauung” kita, djikalau kita hendak mendirikan Indonesia jang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, “Weltanschauung” ini sudah la-ma harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam “Weltanschauung”, bekerja mati-matian untuk me”realiteitkan” “Weltanschauung” mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota jang terhormat Abikusno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan, Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed: “Soviet-Rusia didirikan didalam 10 hari oleh Lenin c.s.”, - John Reed, di dalam kitabnya “Ten days that shook the world”, “sepuluh hari jang meng-goncangkan dunia” -, walaupun Lenin mendirikan So-viet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi “Weltanschauung”nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut ke-kuasaan, dan ditempatkan negara baru itu diatas “Weltanschauung” jang sudah ada. Dari 1895 “Weltanschauung” itu telah disusun. Bahkan dalam re-volutie 1905, Weltanschauung itu “dicobakan”, di “ge-nerale-repetitie-kan”.
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa jang dikatakan oleh beliau sendiri “generale-repetitie” dari pada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, “Weltanschaung” itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas “Weltanschauung” jang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah  pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung. Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya “Weltanschauung” itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922  beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula,  agar supaya Naziisme ini, “Weltanschauung” ini,  dapat menjelma dengan dia punya “Munschener Putsch”, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya jang beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau diatas dasar “Weltanschauung” jang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah “Weltanschauung” kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor Sun Yat Sen?
Di dalam  tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka,  tetapi “Weltanschauung”nya telah dalam tahun 1885, kalau saja tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku “The three people’s principles” San Min Chu I,  - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, nasionalisme, demokrasi, sosialisme,-  telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru diatas “Weltanschauung” San Min Chu I itu, jang  telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas “Weltanschauung” apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau “Weltanschauung” apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan,  - macam-macam - , tetapi alangkah benarnya perkataan dr Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu “Weltanschauung” jang  kita semua setuju. Saja ka-takan lagi setuju! Jang saudara Yamin setujui, jang Ki Bagoes setujui, jang Ki Hajar setujui, jang sdr. Sanoesi setujui, jang sdr. Abikoesno setujui, jang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal jang kita  bersama- sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saja bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia merdeka jang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan jang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara jang bernama kaum kebangsaan jang disini, maupun saudara-saudara jang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan jang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan jang kaya, -tetapi “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran jang nanti akan saja kupas lagi. Maka, jang selalu mendengung di dalam saja punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun jang lebih, ialah: Dasar pertama, jang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar  kebangsaan
Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia. Saja minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saja memakai perkataan “kebangsaan” ini! Sajapun orang Islam. Tetapi saja minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham djikalau saja katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar  kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti jang sempit, tetapi saja menghendaki satu nasion ………., seperti jang saja katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa `pa` jang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat jang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-mojang tuanpun bangsa Indonesia. Diatas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti jang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia. Satu Nationale Staat!  Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saja di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saja uraikan lebih jelas dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah jang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: “le desir d’etre ensemble”, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka jang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia jang mau bersatu, jang merasa dirinya bersatu. Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya “Die Nationalitatenfrage”, disitu ditanyakan: “Was ist eine Nation?” dan jawabnya ialah: “Eine Nation ist eine aus chiksals gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft”. Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai jang timbul karena persatuan nasib). Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota jang terhormat Mr. Yamin berkata: “verouderd”, “sudah tua”. Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah “verouderd”, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun  sudah tua. Sebab tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, jang dinamakan Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi jang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan “Gemeinschaft”nya dan perasaan orangnya, “l’ame et desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi jang didiami manusia itu, Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu  tanah  air . Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah SWT membuat peta dunia, menyusun peta du-nia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana “kesatuan-kesatuan” disitu. Seorang anak kecilpun, djikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan jang besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu  benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon jang mem-bentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai “golf-breker” atau pengadang gelombang lautan Pacific, ada-lah satu kesatuan.
Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia jang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai kesatuan pula, Itu di-taruhkan oleh Allah SWT demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani jang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, a-dalah satu kesatuan.
Maka manakah jang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia jang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!
Maka djikalau saja ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi jang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup “le desir d’etre ensembles”, tidak cukup definisi Otto Bauer “aus schiksals gemeinschaft erwachsene Charakter gemeinschaft” itu. Maaf saudara-saudara, saja mengambil contoh Minangka-bau, diantara bangsa di Indonesia, jang paling ada “desir d’entre ensemble”, adalah rakyat Minangkabau, jang banyaknya kira-kira 2,5 milyun.
Rakyat ini  merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan, melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan!  Penduduk Yogyapun adalah merasa “le desir d”etre ensemble”, tetapi Yogyapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble”, tetapi Sundapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang jang hidup dengan “le desir d’etre ensemble” diatas daerah kecil se-perti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah se-luruh manusia-manusia jang, menurut geopolitik jang telah ditentukan oleh SWT, tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Su-matra sampai ke Irian! Seluruhnya!, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre enemble”, sudah terjadi “Charaktergemeinschaft”! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 jang te-lah menjadi  satu,  satu, sekali lagi  satu!
(Tepuk tangan hebat).
Kesinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat, diatas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saja yakin tidak ada satu golongan diatara tuan-tuan jang tidak mu-fakat, baik Islam maupun golongan jang dinamakan “golongan kebangsaan”. Kesinilah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, jang diutara dibatasi pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indialah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita jang merdeka di jaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sri Wijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat. Saja berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saja berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saja berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan persaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoedin di Sulawesi jang telah membentuk kerajaan Bugis, saja berkata, bahwa tanah Bugis jang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia  seluruhnya,  jang telah berdiri dijaman Sri Wijaya dan Majapahit dan jang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Ka-rena itu, djikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara jang pertama: Kebangsaan  Indonesia. Kebangsaan Indonesia jang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain,tetapi kebangsaan Indonesia, jang ber-sama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan ke-bangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab: “Saja tidak mau akan kebangsaan”. 
TUAN LIM KOEN HIAN: Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.
TUAN SUKARNO:
Kalau begitu, maaf, dan saja mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik jang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme, jang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak jang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya “menschheid”, “peri kemanusiaan”. Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa  ada  kebangsaan Tionghoa! Saja mengaku, pada waktu saja berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS diSurabaya, saja dipengaruhi oleh seorang sosialis jang bernama A. Baars, jang memberi pelajaran kepada saja, - katanya: jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa ke-manusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain jang memperingatkan saja, - ialah Dr SunYat Sen! Di dalam tulisannya “San Min Chu I” atau “The Three People’s Principles”, saja mendapat pelajaran jang membongkar kosmopolitisme jang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saja sejak itu tertanamlah  rasa kebangsaan, oleh pengaruh “The Three People”s Principles” itu.
Maka oleh karena itu, djikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia jang dengan perasaan hormat-se-hormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, - sampai masuk ke lobang kubur. 
(Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan).
Saudara-saudara. Tetapi, tetapi memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham “Indonesia uber Alles”. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air jang satu, merasa berbangsa jang satu, mempunyai bahasa jang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: “Saja seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saja adalah perikemanusiaan “My nationalism is humanity”. Kebangsaan jang kita anjurkan bukan kebangsaan jang menyendiri, bukan chau-vinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropah, jang mengatakan “Deutschland uber Alles”, tidak ada jang setinggi Jermania, jang katanya, bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru, “bangsa Aria”, jang dianggapnya tertinggi diatas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah jang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saja jang kedua. Inilah filosofisch principe jang nomor dua, jang saja usulkan kepada Tuan-tuan, jang boleh saja namakan “internasionalime”. Tetapi djikalau saja katakan internasionalisme, bukanlah saja bermaksud  kosmopolitisme, jang tidak mau adanya kebangsaan, jang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, jang pertama-tama saja usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain. Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”.  Saja  yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sajapun, adalah orang Islam, - maaf beribu-ribu maaf, ke saja  jauh belum sempurna,  - tetapi kalau saudara-saudara membuka saja punya dada, dan melihat saja punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Djikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam. Djikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan djikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerak-kan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan se-banyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60,70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saja yakin, djikalau hal  yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh di-katakan bahwa agama Islam benar-benar  hidup  di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam.
Maka saja berkata, baru djikalau demikian, baru djikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas bibir saja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saja tanya hal itu! Bagi saja hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saja minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, djikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara islam dan saudara-saudara kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil,  - fair play! Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah Subhanahuwa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan!
Priinsip No. 4 sekarang saja usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan kemiskinan didalam Indonesia Merdeka.  Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah di Eropah justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan- badan perwakilan rakyat yang diadakan disana itu, sekedar menurut resepnya Franche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie disana itu hanyalah  politiek ke democratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, — tak ada keadilan sosial,  tidak ada ekonomische democratie sama sekali. 
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. “Di dalam Parlementaire Democratie, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak  politiek  yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?”  Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi:  “Wakil kaum buruh yang  mempunyai hak  politiek  itu, di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik,  - sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa”. Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni  politiek – ecomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!  Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu  Adil? Yang dimakksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya ada keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, djikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan  politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusya-waratan politieke democratie saja, tetapi badan yang  bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sa-ma,saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie “vooronderstelt erfelijkheid”,  - turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya meng-hendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Djikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1.    Kebangsaan Indonesia.
2.    Internasionalisme,  -  atau peri-kemanusiaan.
3.    Mufakat,  -  atau demokrasi.
4.    Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip  Ketuhanan ! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang  berke-adaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati  satu sama lain.
(Tepuk tangan sebagian hadiirin).
Nabi Muhammad S.A.W. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama- agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia. Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah  Ketuhanan  yang   berkebudayaan, Ketuanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, djikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Inderia. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: Pandawa lima).
Pandawapun lima oranya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan  ketuhanan, lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa  namanya ialah Panca   Sila.  Sila artinya  azas  atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi. 
(Tepuk tangan riuh).
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu?
Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu?  Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio - nationalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek-economische demokratie, yaitu politieke demokrasi  dengan  sociale rechtvaardigheid, demokrasi  dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan  socio-democratie.
Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?  Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang  kita  semua  harus mendukungnya.  Semua  buat  semua!  Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, - semua  buat  semua!  Djikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong  royong!  Alangkah hebatnya!   Negara  Gotong  Royong! 
(Tepuk tangan riuh rendah).
“Gotong Royong” adalah faham yang dinamis , lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe.
Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini,  bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal  semua buat kepentingan semua,  keringat  semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!
(Tepuk tangan riuh rendah).
Prinsip Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah pancasila? Isinya  telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya.Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup didalam masa peperangan, saudara- saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, -di dalam gunturnya peperangan!  Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu Wata’ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah S.W.T.
Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila. Sebagai dikatakan tadi,saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara-saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjoang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan. Panca Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun. Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa tidak satu Weltaschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi  kenyataan, menjadi  realiteit , jika tidak dengan  perjoangan ! Janganpun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen! “De Mensch”,  — manusia!  —, harus  perjoangkan  itu.  Zonder perjoangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjoangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjoangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjoangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit.  Janganpun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjoangan manusia yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis didalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjoangan ummat Kristen.
Maka dari itu, djikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni djikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationali- teit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna,  —janganlah lupa akan syarat untuk menyeleng-garakannya, ialah perjoangan, perjoangan, dan sekali lagi pejoangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir.Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan  terus, hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama,  sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bawa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil risiko, — tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Djikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai keakhir jaman! Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya  berkobar-kobar dengan tekad “Merdeka, — merdeka atau mati”!
(Tepuk tangan riuh).
Saudara-sauadara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap “verschrikkelijk zwaarwichtig” itu. Terima kasih!
(Tepuk tangan riuh rendah dari segenap hadirin).

sumber

Bung Karno The Trend Setter


Tak terbantah lagi Bung Karno adalah trend setter terkemuka dalam gaya busana di Indonesia, baik dalam masa pemerintahannya, masa-masa perjuang-an politik di zaman penjajahan maupun masa reformasi sekarang ini ketika pengaruh itu masih terasa. Bung Karno malah merupakan penentu trend bagi tata busana perempuan, khususnya dalam peran Bung Karno memadukan motif-motif klasik pada Batik Kraton dengan corak warna Batik Pesiran dalam format baru yang dikenal sebagai Batik Indonesia, cikal bakal berkembangnya batik sebagai salah satu trend tersendiri dalam dunia fashion.

Kopiah adalah perangkat busana yang dipopulerkan Bung Karno sebagai identitas nasional. Kopiah - asal katanya kaffiyeh yang secara harafiah berarti penutup kepala - pada pertengahan dasawarsa 20an dikenakan oleh kalangan bawah, rakyat jelata di lingkungan Jawa Barat, Jakarta serta pesisir utara pulau Jawa. Ketika Bung Karno membentuk Partai Nasional Indonesia, 4 Juli 1927, dalam suatu rapat pimpinan partai di-usulkannya agar tiap warga PNI mengenakan kopiah sebagai identitas nasional. Usul ini segera diterima secara bulat, meski ada beberapa di antara pimpinan partai - antara lain Ali Sastroamidjojo - yang menolak. Segera setelah keputusan itu, kopiah menjadi penutup kepala yang popular di kalangan kaum pergerakan.

Meski mengenakan tata busana Jawa-Eropa - di kepalanya bertengger ikat kepala Jawa - ketika berse-kolah di ELS dan HBS, Bung Karno sudah mengenakan stelan Eropa sejak muda. Ke-tika kuliah di THS (Technische Hoge School) di Bandung, Bung Karno tampil gundulan alias tidak memakai tutup kepala sama sekali. Namun, dalam deret busana barat yang dimilikinya, tidak ada satu pun yang bergaya kolonial tropikal - stelan safari putih, celana pendek, kaus kaki tinggi dan topi gabus. Bung Karno memilih stelan pantalon-jas-dasi putih dan kopiah hitam, gaya busana yang dikenakannya sampai zaman Jepang dan awal zaman merdeka.

Gaya busana ini mencapai po-pularitas tinggi karena dijadikan standar busana bagi kaum pergerakan di Indonesia. Popularitas tinggi itu juga dicapai berkat seringnya Bung Karno - karena sering diperkarakan oleh pemerintahan kolonial - tampil dalam sosok foto di surat-surat kabar. Bukan cuma itu, sampai dasawarsa 30an, foto-foto Bung Karno dalam pelbagai gaya ditampilkan pada etalase sebuah studio foto terkemuka langganannya di Bandung. Siswi-siswi sekolah MULO di Jl. Sunda, Bandung, sering berlama-lama berdiri di depan etalase tersebut mengagumi sang foto model amatir itu.

Secara umum tata busana para pejuang di zaman revolusi dan perang kemerdekaan 1945-1949 banyak dipengaruhi uniform militer Prancis. Antara lain perwira yang mengenakan celana berkuda dan riding boots, para anggota mengenakan muts hitam berujung runcing. Dalam suasana yang demikian ini, Bung Karno mendefinisikan sendiri tata busana bagi warga sipil yang berjuang. Jas ditampilkan dengan kantung tempel yang empat buah, sementara tanda kepresidenan - bintang bersudut lima dalam lingkaran - disematkan di kedua kelepak. Dengan varian warna yang terbatas - putih, broken white sampai khaki - jadilah tata busana ini - tetap dengan kopiah hitam - pakaian resmi warga sipil di masa perjuangan bersenjata.

Tata busana yang demikian ini - bagi instansi sipil, namun ada secercah uniform militer di dalamnya - bertahan hingga tahun-tahun pertama di Istana Merdeka. Ketika peran Bung Karno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia makin menonjol, tata busana ini lebih condong ke arah uniform militer dengan pencantuman pita-pita tanda jasa di dada. Namun tidaklah style ini menjadi militeristik karena Bung Karno lebih menempatkannya dalam kategori busana sipil melalui kopiah yang sangat merakyat. Trend yang unik ini - penggabungan elemen-elemen militer dan citra sederhana warga negara kebanyakan - dikembangkan tidak hanya dalam jajaran pemerintahan, namun juga diadaptasi oleh Gerakan Pramuka. Seragam pramuka tidak banyak berbeda dengan seragam boy scouts dan girl guides di negeri-negeri barat, namun pen-cantuman kopiah memberikan citra keindonesiaan yang kental.

Dalam tata busana yang khas Bung Karno ini, sang trend setter tidak berhenti sampai di situ. Bung Karno menghadirkan kembali stelan dengan jas berlengan pendek tanpa dasi yang disalahartikan sebagai safari, sebuah trend yang kemudian diikuti oleh jajaran menteri pada Kabinet Dwikora, para direktur jenderal sampai ke camat dan lurah. Bung Karno juga menghadirkan stelan semi-uniform dalam pelbagai warna. Biru, cokelat, dan abu-abu sesuai kebutuhan pada acara-acara tertentu di kalangan ADRI, AURI dan ALRI, ataupun two-tone jas biru tua dan celana biru muda pada acara pembukaan Games of the New Emerging Forces, GANEFO.

Bung Karno, the trendsetter, berperan penting dalam menggalakkan aneka busana daerah ke ajang nasional dan internasional melalui pembentukan barisan Bhineka Tunggal Ika, receiving line pada upacara resmi yang mengenakan ragam kostum khas tersebut.

Penulis :   Olly Ganjar Santosa   

sumber :

Bung Karno dan Tiga Pelukis Istana

BUNG Karno telah sampai di ketinggian sebuah bukit di Kintamani, Pulau Bali. Ia terpaku lama di situ. Angin dingin yang lewat dan menyapu hemnya yang putih, dengan mata terpejam dihayati. Sementara awan-awan tipis yang berarak pada jarak "selemparan batu" dibiarkan menyusun komposisinya sendiri. Dan nun di bawah sana rumpun-rumpun perdu dan hamparan lembah tak henti menerima bayang-bayang awan, yang sebentar ada, sebentar tiada. "Dullah, Soekarno harus membuat sesuatu di sini. Soekarno dan rakyatnya harus bisa menikmati surga ini. Soekarno dan dunia musti punya tempat untuk menyaksikan lukisan Tuhan ini!" kata Bung Karno kepada Dullah yang berdiri patuh di dekatnya. Dullah tentu saja tersentak, dan kemudian berpikir.
Dalam perjalanan pulang menuju Istana Tampaksiring, Dullah mengusulkan sesuatu kepada Bung Karno. "Bagaimana kalau di tempat Bapak tadi dibangun gazebo? Agar nanti Bapak dan semua orang mempunyai sudut pandang yang khas untuk menatap keindahan Kintamani?" Bung Karno menoleh kepada Dullah, dan kemudian berkata. "Buatlah sketsanya, nanti kau serahkan kepadaku."
Beberapa bulan kemudian masyarakat Bali tahu, bahwa di tempat Bung Karno berdiri tadi telah berdiri sebuah pesanggrahan, halte istirah, atau gazebo. Beberapa tahun kemudian masyarakat Indonesia diam-diam datang ke gazebo itu, untuk menyapukan pandangannya ke hamparan alam yang alangkah indahnya. Beberapa puluh tahun kemudian orang-orang dari seluruh dunia datang ke Kintamani, dan berduyun-duyun untuk menghormati alam, dengan mata takjub dan terharu. Jutaan orang itu berdiri di tempat dahulu Bung Karno memandangi lembah dan awan-awan.
ITULAH salah satu tugas pelukis Istana Presiden. Ya, mempresentasikan gagasan Soekarno", kisah Dullah tahun 1980-an. Selama ini orang memang menganggap tugas pelukis Istana hanyalah melukis, atau mengurus lukisan-lukisan yang ada di Istana belaka. Padahal lebih dari itu. Di sini pelukis Istana serius bekerja memelihara kecintaan Bung Karno kepada seni rupa. Merespons kemauan Bung Karno atas sejumlah manifestasi seni. Dan, mewujudkan aspirasi seni Presiden, dalam apa pun bentuknya. "Banyak tugas ekstra di luar Istana. Namun, semua tetap bermuara pada keindahan, yang merupakan esensi dari lukisan," kata Dullah.
Dullah adalah pelukis Istana Presiden yang bertugas tahun 1950-1960. Setelah itu Bung Karno mengangkat Lee Man-fong, yang bekerja pada 1961-1965, dan Lim Wawim yang bablas bertugas 1961 sampai 1968. Dullah memang figur yang beruntung. Ia berkenalan dengan Bung Karno lewat pelukis Sudjojono pada tahun 1944. Kala itu pria kelahiran Solo 1919 ini sedang dalam proses bergabung dengan Putera (Pusat Tenaga Rakjat) yang dipimpin oleh Bung Karno, Mohamad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mansyur. Satu organisasi yang didirikan untuk mendampingi benteng kebudayaan Jepang, Keimin Bunka Sidhoso.
Bung Karno sangat banyak mengenal seniman, oleh karena itu sesungguhnya Dullah bisa dengan mudah terlupakan. Namun, Dullah secara tak sengaja sempat menanamkan kenangan di benak Bung Karno. Kejadian di tahun 1945, di sebuah "ruang rahasia" Balai Pustaka, Jakarta Pusat, adalah amsalnya. Suatu kali Bung Karno meminta kepada Sudjojono, agar seniman-seniman memproduksi poster perjuangan. Sudjojono mendelegasikan tugas ini kepada pimpinan Balai Pustaka, sebagai pihak yang bisa menangani grafis. Pimpinan Balai Pustaka lalu meminta Affandi untuk menggambar posternya. Affandi pun meminta Dullah untuk jadi modelnya: pejuang perkasa yang sedang berteriak membahana dengan tangan menjotos angkasa. Poster yang diberi teks "Boeng Ajo Boeng!" oleh penyair Chairil Anwar itu kemudian digandakan oleh Baharrudin MS, Abdul Salam dan lain-lain, untuk kemudian disebarkan ke antero wilayah perjuangan. Bung Karno terpana melihat poster yang provokatif itu. Dan ia lantas bertanya kepada Sudjojono, siapa yang jadi model. Sudjojono tentu menjawab: Dullah. Begitu mendengar nama Dullah, Bung Karno tergelak-gelak. "Dullah? Belanda pasti tidak menyangka bahwa model dalam poster itu orangnya kecil. Kecil!"
Indonesia Merdeka. Bung Karno menjadi Presiden RI pertama. Urusan politik memang menjadi prioritas. Namun, rasa cintanya kepada seni, terutama seni lukis, sungguh tak bisa ditinggalkan. Dan karena dirinya merasa tak mungkin lagi pelukis-meski sesungguhnya ini cita-cita Bung Karno sejak muda-ia mulai berkonsentrasi jadi pengumpul lukisan. Ia ingin jadi kolektor sejati. Bukankah mengumpulkan lukisan adalah manifestasi dari apresiasi mendalam atas seni? Dan bukankah apresiasi yang mendalam merupakan katarsis? Bung Karno memang menganggap seni sebagai "api penyucian".
Berkenaan dengan dunia mengoleksi itu ia melihat Istana Kepresidenan bisa menjadi wahana. Bung Karno memperlihatkan keinginannya agar Istana Kepresidenan tak sekadar jadi rumah politik, tapi juga rumah seni yang merefleksikan hati sebuah bangsa. Dari sini lantas timbullah hasrat mengangkat pelukis Istana. Pada saat itulah ia teringat nama Dullah, si kecil model poster, yang juga dikenal sebagai pelukis gagah berani dalam Agresi Militer II di Yogyakarta 1948. Dullah pun dipanggil. Bagi Dullah, ini adalah jabatan yang sangat mengagetkan, dan membuat dirinya shock berhari-hari.
"Alea jacta east! Dadu pertaruhan sudah kulemparkan. Dan kau harus menerima, Dullah", kata Bung Karno seolah meniru Julius Caesar. Namun, bekerja di Istana Presiden Soekarno ternyata tidak senyaman yang dibayangkan. Tuntutan Bung Karno atas keindahan Istana sangat kompleks. Dullah harus membenahi ratusan lukisan koleksi Bung Karno yang sudah ada. Untuk kemudian menyeleksi, memajang di dinding-dinding Istana Negara, Istana Merdeka, Gedung Agung Yogyakarta, Istana Bogor, sampai Istana Tampaksiring. Merestorasi lukisan-lukisan yang luka. Lalu mendisplai lagi dan seterusnya. Di luar itu, Dullah sering diajak Bung Karno mencari lukisan, mendekati pelukis, berdiskusi seni. Bahkan berjalan jauh di luar Istana sambil membahas upaya penghormatan atas keindahan alam, seperti pembangunan gazebo di bukit Kintamani.
Sepuluh tahun berjalan, pada 1960 Dullah minta diri keluar dari Istana. Ia ingin jadi pelukis bebas. Bung Karno terperangah, sambil bertanya. "Kurang opo tho kowe?" (Kurang apa kamu?)
Dullah tak menjawab. Pokoknya ia minta keluar. Sampai akhirnya Bung Karno berkata lanjut. "Saiki aku ngerti. Kowe ora kurang opo-opo. Mung kurang ajar!" (Sekarang aku mengerti. Kamu tidak kurang apa-apa. Hanya kurang ajar!"), kata Bung Karno sambil menepuk-nepuk pundak Dullah. Dullah melihat, mata Bung Karno berkaca-kaca. "Bila dihadapkan pada soal-soal yang politis, Bapak dengan sigap akan menangkis. Namun, jika dibelitkan problem seni lukis, Bapak serta merta menangis", kenang Dullah.
TENTU Dullah tidak meninggalkan Bung Karno begitu saja. Ia mengusulkan agar pelukis Lee Man-fong diangkat untuk menggantikannya. Bung Karno setuju. Lee Man-fong adalah pelukis kelahiran Guangzhou, Cina, tahun 1913. Ayahnya, seorang pedagang dengan 10 anak, membawanya ke Singapura. Ketika ayahnya meninggal tahun 1930, Man-fong harus bekerja keras menghidupi Ibu dan adik-adiknya. Kepandaiannya dalam menggambar advertensi dan melukis digunakan sebaik-baiknya. Namun bekerja di Singapura dirasanya tak cukup.
Tahun 1932 ia berlabuh di Jakarta, dan mencoba peruntungannya sekuat tenaga. Jakarta ternyata tempat yang bisa memenuhkan hasratnya sebagai seniman. Iklim kesenirupaannya bagus. Ketegangan antara kelompok nasionalis semacam Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia) dan komunitas kunstkring Hindia Belanda menurut dia merangsang kreasi dan elan vital. "Saya suka Indonesia," itulah kata-kata yang sering diucapkan. Karena itu, ketika Jepang ekspansi dan menjajah Indonesia, Man-fong ikut berteriak menolak. Sampai akhirnya ia masuk penjara, 1942, dan siap disiksa. Untung ia ditolong oleh Takahashi Masao, seorang opsir yang bertugas membuat ikebana untuk para sipir. Masao tertarik kepada potensi artistik Man-fong selama dalam tahanan. Namun begitu, tak kurang dari enam bulan pelukis serba bisa ini meringkuk dalam bui.
Tahun 1946, Bung Karno mulai mendengar nama Lee Man-fong, ketika si pelukis berpameran tunggal di Jakarta. Bahkan, Bung Karno selintas tahu bahwa Man-fong akhirnya memperoleh beasiswa Malino dari petinggi Belanda, Van Mook. Di Eropa, Man-fong memperoleh sukses lewat berbagai pameran. Kembali ke Indonesia sebentar, dan lantas berangkat lagi untuk bikin pergelaran, dari Den Haag sampai Paris.
Tahun 1952, Man-fong balik hidup di Jakarta. Bung Karno semakin terpikat kepadanya. Lalu, bersama Dullah ia mengunjungi pelukis ini di rumahnya di Jalan Gedong, Jakarta. Spirit Man-fong semakin terpicu. Seni lukis bagi Man-fong tak lagi cuma alat ekspresi individual, namun juga sebagai perabot yang membantu sebuah pengabdian. Lantaran itulah pada tahun 1955 ia lalu mendirikan perkumpulan Yin Hua. Organisasi ini mengumpulkan para pelukis Tionghoa. Yin Hua, yang bermarkas di Lokasari, Jakarta Kota, sering mengadakan pameran. Dan Bung Karno tidak lupa mengunjungi. Bahkan, ketika seni lukis Yin Hua bertandang ke Tiongkok tahun 1956, dan Man-fong bertindak sebagai ketua delegasi, Bung Karno dengan salut merestui.
Hubungan Bung Karno dan Man-fong terjalin baik. Lukisan Man-fong yang perfek, manis, teknis, estetik dan justru terbebas dari paradigma gelora perjuangan, sangat selaras dengan jiwa seni Bung Karno. Karya-karya Man-fong dipandangnya sebagai ventilasi dari kesibukan revolusi. Memang, sang presiden memiliki pandangan tidak terbelenggu kepada tema tertentu. Hal ini terdata di kemudian hari, bahwa tema perjuangan ternyata hanya mencakup tak lebih dari 10 persen belaka dari seluruh koleksinya yang beribu-ribu. "A thing of beauty is a joy forever", adalah ucapan yang sering keluar dari bibir Bung Karno. Itu sebabnya lukisan wanita cantik, alam benda yang elok, pemandangan yang tenteram, sudut kampung yang adem, sangat membahagiakannya. Singkat kata, riwayat, pribadi dan karya-karya Man-fong cocok dengan Bung Karno. Hingga usulan Dullah agar Man-fong menggantikannya jadi pelukis Istana, diterimanya dengan sukacita.
TAHUN 1961, Lee Man-fong diangkat resmi. Dan sejak itu pula ia yang tadinya masih warga negara Tiongkok, menjadi warga negara Indonesia. Namun, Man-fong sesungguhnya bukanlah orang kantoran. Lingkungan Istana yang protokoler, punya jam kerja, serta harus 'menurut' Sang Bapak, sungguh bukan pekerjaan mudah baginya. Man-fong lantas membawa sahabatnya, Lim Wasim, dan diusulkan jadi asistennya. Bung Karno tidak menolak. Lim Wasim adalah pelukis kelahiran Bandung 1929. Ia pernah belajar kepada Mochtar Apin, Abedy dan Sudjana Kerton. Dan kemudian melanjutkan belajarnya di Chang Yang I Shu Xue Yuan atau Institut Seni Sentral Beijing tahun 1950. Dan, pada tahun 1956, ia mengajar di Xian I Shu Xue Yuan, atau Institut Seni Provinsi Xian. Tahun 1959, kembali ke Indonesia. Bung Karno sendiri telah mengenal Wasim beberapa bulan sebelumnya. Waktu itu, 1960, Wasim sedang membantu Man-fong mengerjakan mural (lukisan dinding) Puspita dan Margasatwa di Hotel Indonesia. Hotel ini, atas instruksi Bung Karno sedang dikemas rapi untuk menyambut Asian Games IV,
Jakarta.
Di Istana Presiden, Man-fong mendapat gaji Rp 5.000 sebulan. Sedangkan Wasim Rp 4.000. Gaji ini sama dengan empat hari Wasim bekerja di sanggar Tjio Tek Djien, yang terletak di kawasan Cideng, Jakarta. Sebuah studio seni yang menstimulasi para pelukis untuk berkreasi, yang pendiriannya atas dorongan Bung Karno pula. "Bekerja untuk Bapak sama dengan sekolah mencintai seni. Lantaran itu saya tak pernah memikirkan gaji," kata Wasim.
Di Istana Wasim ternyata jauh lebih aktif dari Man-fong. Dan itu sudah diramalkan. Tugas Wasim seperti juga kerja utama Dullah dulu. Di antaranya yang paling membanggakan adalah tugas melukis sosok Bung Karno untuk dibawa Presiden ke luar negeri. Karena banyak kepala negara yang meminta gambar "Bung Karno Sang Kolektor" sebagai kenang-kenangan.
Ketika Bung Karno turun dari kekuasaan awal tahun 1966, koleksi yang ada sekitar 2.300 bingkai. Jumlah yang bukan main! Bahkan ada yang menyebut, inilah koleksi lukisan terbesar seorang Presiden di seputar Bumi, kala itu. Dan ketika kekisruhan politik dimulai, apa boleh buat, Lee Man-fong yang tak berpolitik terpaksa "lari" ke Singapura. Dullah selama beberapa tahun berdiam diri di rumah, lantaran diincar sebagai Soekarnois. Dan Lim Wasim? "Syukur saya tetap dipertahankan di Istana sampai tahun 1968. Tapi dengan pekerjaan yang tak jelas. Dan tiap pagi harus apel, tiap kali harus lapor," kisahnya.
Hasil pengabdian para pelukis Istana itu dinampakkan lewat buku monumental Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno. Yang pertama disusun Dullah, terbit dalam 2 jilid tahun 1956. Dan disusul dua jilid berikutnya 1961. Buku ini disempurnakan oleh Lee Man-fong, dan terbit 1964 dalam lima jilid. Lalu jilid VI sampai X disusun oleh Lim Wasim, yang rencananya diluncurkan pada ulang tahun Bung Karno 6 Juni 1966. Sayang kekacauan politik meledak, dan proyek prestisius yang sudah sampai tahap blue print itu batal.
Pada 20 Juni 1970 Bung Karno wafat. Banyak orang mengatakan bahwa Bung Karno pergi karena sakit fisik lantaran politik. Namun tiga pelukis Istananya memperkirakan, Bung Karno wafat karena dirundung "kesedihan lukisan". Bayangkan, selama lebih dari 40 bulan Bung Karno dipisahkan dengan koleksi seninya. Dan itu adalah ribuan anak-anak emasnya, buah-buah spiritualnya, yang diburu dan dipeluk selama duapertiga hidupnya! 

Penulis : Agus Dermawan T Penyusun buku Dullah, Lee Man-fong, Lim Wasim, dan Koleksi Istana Presiden RI.

sumber :
Harian Kompas,  1 Juni 2001
http://www.gentasuararevolusi.com

Operasional PPS Cilacap

My Photo

My Video's

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes