Pasar Baru. Salah satu tempat warga Jakarta betransaksi ini masih berdiri sejak jaman penjajahan hingga kini.
Bermacam cerita muncul dari pasar yang kini menjadi pusat perdagangan sepatu dan pakaian.
Pasar ini dibangun pada masa penjajahan Belanda. Ketika itu Batavia -sebutan nama Jakarta di masa Hindia Belanda- dikepalai Gubernur Jenderal Daendels, sudah memiliki Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen.
Daendels pada tahun 1821 membuka sebuah sektor (semacam wilayah) baru. Sektor itu diberi nama Lapangan Gambir.
Sektor Lapangan Gambir dibuka setelah Gubernur Daendels telah membentuk pusat pemerintahan Hindi Belanda yang baru, daerah ini disebut Weltevreden ( tempat yang menyenangkan).
Kawasan ini berada di Lapangan Banteng dengan gedung pusat pemerintahan yang saat ini dipakai Departemen Keuangan.
Di sekitar Weltevreden telah ada pasar seperti Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Daendels saat itu perlu untuk membuat satu pasar lagi.
Dan untuk membedakan satu sama lain, Daendels menyebut pasar itu sebagai Pasar Baru artinya pasar yang baru dibangun.
Dalam perjalanannya, pada tahun 1928 perekonomian di Pasar Baru pernah mengalami kemerosotan yang drastis. Kerugian besar dialami para pedagang.
Bahkan, sekira 60 persen toko yang tidak mampu menahan resesi terpaksa ditutup. Karena sebagian besar dari mereka hanya menyewa, sehingga tidak dapat menahan resesi.
Ternyata, masyarakat Tionghoa yang menempati toko di Pasar Baru ketika tidak mempercayai kemerosotan ekonomi di Pasar Baru tidak semata akibat resesi.
Konon, setelah ditelisik ternyata yang menjadi masalah adalah adanya patung ayam di sebuah gereja yang terletak berdekatan dengan Pasar Baru.
Sebenarnya gereja yang dibangun antara tahun 1913-1915 itu sudah diberi nama Gereja Baru. Namun, karena ada patung ayam di atas menara petunjuk angin, masyarakat sekitar menyebutnya sebagai Gereja Ayam.
Menurut Ketua Asosiasi Pedagang Retail Pasar Baru Burhanudin, pasar baru jika dilihat dari atas, berbentuk seperti kelabang.
Sejumlah gang di Pasar Baru seperti kaki kelabang dengan Pasar Baru sebagai tubuhnya. Dalam kepercayaan Cina, kelabang sangat takut dengan ayam.
Bahkan, binatang berkaki banyak itu salah satu menu utama hewan bersayap itu. Karena patung ayam itu berhadapan langsung dengan Pasar Baru, seakan siap menerkam kelabang.
“Akhirnya, orang-orang Cina sini memanggil pakar Feng Shui dari Cina,” kata Burhanudin.
Pakar Feng Shui yang didatangkan langsung dari Negeri Tirai Bambu itu ternyata membenarkan kemerosotan di pasar ini disebabkan adanya patung ayam itu.
Untuk mengatasi hal tersebut, sang pakar menyarankan agar segera dibuat patung burung Elang untuk menangkal kesialan di Pasar Baru.
Menurut pakar Feng Shui itu, ayam sangat takut dengan burung elang. Akhirnya, patung burung elang itu dipasang di atas Toko Populer yang kini milik Ayung, sapaan Burhanudin.
Ternyata, sang pakar tidak salah. Setelah patung burung Elang itu dipasang, Pasar Baru kembali berdenyut. Tepat tahun 1930 kembali pulih dan bergairah.
Pengunjung yang umumnya masyarakat menengah keatas kembali marak. “Ya boleh percaya, boleh juga tidak. Ceritanya begitu, karena orang Cina dulu sangat percaya dengan mitos,” katanya.
Ayung sendiri tidak memercayai mitos tersebut. Tapi menurutnya, cerita tersebut merupakan bagian dari sejarah perjalanan Pasar Baru yang mengalami perjalanan panjang sebagai bagian dari sejarah Kota Jakarta.