Dalam perjalanan pulang menuju Istana Tampaksiring, Dullah mengusulkan sesuatu kepada Bung Karno. "Bagaimana kalau di tempat Bapak tadi dibangun gazebo? Agar nanti Bapak dan semua orang mempunyai sudut pandang yang khas untuk menatap keindahan Kintamani?" Bung Karno menoleh kepada Dullah, dan kemudian berkata. "Buatlah sketsanya, nanti kau serahkan kepadaku."
Beberapa bulan kemudian masyarakat Bali tahu, bahwa di tempat Bung Karno berdiri tadi telah berdiri sebuah pesanggrahan, halte istirah, atau gazebo. Beberapa tahun kemudian masyarakat Indonesia diam-diam datang ke gazebo itu, untuk menyapukan pandangannya ke hamparan alam yang alangkah indahnya. Beberapa puluh tahun kemudian orang-orang dari seluruh dunia datang ke Kintamani, dan berduyun-duyun untuk menghormati alam, dengan mata takjub dan terharu. Jutaan orang itu berdiri di tempat dahulu Bung Karno memandangi lembah dan awan-awan.
ITULAH salah satu tugas pelukis Istana Presiden. Ya, mempresentasikan gagasan Soekarno", kisah Dullah tahun 1980-an. Selama ini orang memang menganggap tugas pelukis Istana hanyalah melukis, atau mengurus lukisan-lukisan yang ada di Istana belaka. Padahal lebih dari itu. Di sini pelukis Istana serius bekerja memelihara kecintaan Bung Karno kepada seni rupa. Merespons kemauan Bung Karno atas sejumlah manifestasi seni. Dan, mewujudkan aspirasi seni Presiden, dalam apa pun bentuknya. "Banyak tugas ekstra di luar Istana. Namun, semua tetap bermuara pada keindahan, yang merupakan esensi dari lukisan," kata Dullah.
Dullah adalah pelukis Istana Presiden yang bertugas tahun 1950-1960. Setelah itu Bung Karno mengangkat Lee Man-fong, yang bekerja pada 1961-1965, dan Lim Wawim yang bablas bertugas 1961 sampai 1968. Dullah memang figur yang beruntung. Ia berkenalan dengan Bung Karno lewat pelukis Sudjojono pada tahun 1944. Kala itu pria kelahiran Solo 1919 ini sedang dalam proses bergabung dengan Putera (Pusat Tenaga Rakjat) yang dipimpin oleh Bung Karno, Mohamad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mansyur. Satu organisasi yang didirikan untuk mendampingi benteng kebudayaan Jepang, Keimin Bunka Sidhoso.
Bung Karno sangat banyak mengenal seniman, oleh karena itu sesungguhnya Dullah bisa dengan mudah terlupakan. Namun, Dullah secara tak sengaja sempat menanamkan kenangan di benak Bung Karno. Kejadian di tahun 1945, di sebuah "ruang rahasia" Balai Pustaka, Jakarta Pusat, adalah amsalnya. Suatu kali Bung Karno meminta kepada Sudjojono, agar seniman-seniman memproduksi poster perjuangan. Sudjojono mendelegasikan tugas ini kepada pimpinan Balai Pustaka, sebagai pihak yang bisa menangani grafis. Pimpinan Balai Pustaka lalu meminta Affandi untuk menggambar posternya. Affandi pun meminta Dullah untuk jadi modelnya: pejuang perkasa yang sedang berteriak membahana dengan tangan menjotos angkasa. Poster yang diberi teks "Boeng Ajo Boeng!" oleh penyair Chairil Anwar itu kemudian digandakan oleh Baharrudin MS, Abdul Salam dan lain-lain, untuk kemudian disebarkan ke antero wilayah perjuangan. Bung Karno terpana melihat poster yang provokatif itu. Dan ia lantas bertanya kepada Sudjojono, siapa yang jadi model. Sudjojono tentu menjawab: Dullah. Begitu mendengar nama Dullah, Bung Karno tergelak-gelak. "Dullah? Belanda pasti tidak menyangka bahwa model dalam poster itu orangnya kecil. Kecil!"
Indonesia Merdeka. Bung Karno menjadi Presiden RI pertama. Urusan politik memang menjadi prioritas. Namun, rasa cintanya kepada seni, terutama seni lukis, sungguh tak bisa ditinggalkan. Dan karena dirinya merasa tak mungkin lagi pelukis-meski sesungguhnya ini cita-cita Bung Karno sejak muda-ia mulai berkonsentrasi jadi pengumpul lukisan. Ia ingin jadi kolektor sejati. Bukankah mengumpulkan lukisan adalah manifestasi dari apresiasi mendalam atas seni? Dan bukankah apresiasi yang mendalam merupakan katarsis? Bung Karno memang menganggap seni sebagai "api penyucian".
Berkenaan dengan dunia mengoleksi itu ia melihat Istana Kepresidenan bisa menjadi wahana. Bung Karno memperlihatkan keinginannya agar Istana Kepresidenan tak sekadar jadi rumah politik, tapi juga rumah seni yang merefleksikan hati sebuah bangsa. Dari sini lantas timbullah hasrat mengangkat pelukis Istana. Pada saat itulah ia teringat nama Dullah, si kecil model poster, yang juga dikenal sebagai pelukis gagah berani dalam Agresi Militer II di Yogyakarta 1948. Dullah pun dipanggil. Bagi Dullah, ini adalah jabatan yang sangat mengagetkan, dan membuat dirinya shock berhari-hari.
"Alea jacta east! Dadu pertaruhan sudah kulemparkan. Dan kau harus menerima, Dullah", kata Bung Karno seolah meniru Julius Caesar. Namun, bekerja di Istana Presiden Soekarno ternyata tidak senyaman yang dibayangkan. Tuntutan Bung Karno atas keindahan Istana sangat kompleks. Dullah harus membenahi ratusan lukisan koleksi Bung Karno yang sudah ada. Untuk kemudian menyeleksi, memajang di dinding-dinding Istana Negara, Istana Merdeka, Gedung Agung Yogyakarta, Istana Bogor, sampai Istana Tampaksiring. Merestorasi lukisan-lukisan yang luka. Lalu mendisplai lagi dan seterusnya. Di luar itu, Dullah sering diajak Bung Karno mencari lukisan, mendekati pelukis, berdiskusi seni. Bahkan berjalan jauh di luar Istana sambil membahas upaya penghormatan atas keindahan alam, seperti pembangunan gazebo di bukit Kintamani.
Sepuluh tahun berjalan, pada 1960 Dullah minta diri keluar dari Istana. Ia ingin jadi pelukis bebas. Bung Karno terperangah, sambil bertanya. "Kurang opo tho kowe?" (Kurang apa kamu?)
Dullah tak menjawab. Pokoknya ia minta keluar. Sampai akhirnya Bung Karno berkata lanjut. "Saiki aku ngerti. Kowe ora kurang opo-opo. Mung kurang ajar!" (Sekarang aku mengerti. Kamu tidak kurang apa-apa. Hanya kurang ajar!"), kata Bung Karno sambil menepuk-nepuk pundak Dullah. Dullah melihat, mata Bung Karno berkaca-kaca. "Bila dihadapkan pada soal-soal yang politis, Bapak dengan sigap akan menangkis. Namun, jika dibelitkan problem seni lukis, Bapak serta merta menangis", kenang Dullah.
TENTU Dullah tidak meninggalkan Bung Karno begitu saja. Ia mengusulkan agar pelukis Lee Man-fong diangkat untuk menggantikannya. Bung Karno setuju. Lee Man-fong adalah pelukis kelahiran Guangzhou, Cina, tahun 1913. Ayahnya, seorang pedagang dengan 10 anak, membawanya ke Singapura. Ketika ayahnya meninggal tahun 1930, Man-fong harus bekerja keras menghidupi Ibu dan adik-adiknya. Kepandaiannya dalam menggambar advertensi dan melukis digunakan sebaik-baiknya. Namun bekerja di Singapura dirasanya tak cukup.
Tahun 1932 ia berlabuh di Jakarta, dan mencoba peruntungannya sekuat tenaga. Jakarta ternyata tempat yang bisa memenuhkan hasratnya sebagai seniman. Iklim kesenirupaannya bagus. Ketegangan antara kelompok nasionalis semacam Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia) dan komunitas kunstkring Hindia Belanda menurut dia merangsang kreasi dan elan vital. "Saya suka Indonesia," itulah kata-kata yang sering diucapkan. Karena itu, ketika Jepang ekspansi dan menjajah Indonesia, Man-fong ikut berteriak menolak. Sampai akhirnya ia masuk penjara, 1942, dan siap disiksa. Untung ia ditolong oleh Takahashi Masao, seorang opsir yang bertugas membuat ikebana untuk para sipir. Masao tertarik kepada potensi artistik Man-fong selama dalam tahanan. Namun begitu, tak kurang dari enam bulan pelukis serba bisa ini meringkuk dalam bui.
Tahun 1946, Bung Karno mulai mendengar nama Lee Man-fong, ketika si pelukis berpameran tunggal di Jakarta. Bahkan, Bung Karno selintas tahu bahwa Man-fong akhirnya memperoleh beasiswa Malino dari petinggi Belanda, Van Mook. Di Eropa, Man-fong memperoleh sukses lewat berbagai pameran. Kembali ke Indonesia sebentar, dan lantas berangkat lagi untuk bikin pergelaran, dari Den Haag sampai Paris.
Tahun 1952, Man-fong balik hidup di Jakarta. Bung Karno semakin terpikat kepadanya. Lalu, bersama Dullah ia mengunjungi pelukis ini di rumahnya di Jalan Gedong, Jakarta. Spirit Man-fong semakin terpicu. Seni lukis bagi Man-fong tak lagi cuma alat ekspresi individual, namun juga sebagai perabot yang membantu sebuah pengabdian. Lantaran itulah pada tahun 1955 ia lalu mendirikan perkumpulan Yin Hua. Organisasi ini mengumpulkan para pelukis Tionghoa. Yin Hua, yang bermarkas di Lokasari, Jakarta Kota, sering mengadakan pameran. Dan Bung Karno tidak lupa mengunjungi. Bahkan, ketika seni lukis Yin Hua bertandang ke Tiongkok tahun 1956, dan Man-fong bertindak sebagai ketua delegasi, Bung Karno dengan salut merestui.
Hubungan Bung Karno dan Man-fong terjalin baik. Lukisan Man-fong yang perfek, manis, teknis, estetik dan justru terbebas dari paradigma gelora perjuangan, sangat selaras dengan jiwa seni Bung Karno. Karya-karya Man-fong dipandangnya sebagai ventilasi dari kesibukan revolusi. Memang, sang presiden memiliki pandangan tidak terbelenggu kepada tema tertentu. Hal ini terdata di kemudian hari, bahwa tema perjuangan ternyata hanya mencakup tak lebih dari 10 persen belaka dari seluruh koleksinya yang beribu-ribu. "A thing of beauty is a joy forever", adalah ucapan yang sering keluar dari bibir Bung Karno. Itu sebabnya lukisan wanita cantik, alam benda yang elok, pemandangan yang tenteram, sudut kampung yang adem, sangat membahagiakannya. Singkat kata, riwayat, pribadi dan karya-karya Man-fong cocok dengan Bung Karno. Hingga usulan Dullah agar Man-fong menggantikannya jadi pelukis Istana, diterimanya dengan sukacita.
TAHUN 1961, Lee Man-fong diangkat resmi. Dan sejak itu pula ia yang tadinya masih warga negara Tiongkok, menjadi warga negara Indonesia. Namun, Man-fong sesungguhnya bukanlah orang kantoran. Lingkungan Istana yang protokoler, punya jam kerja, serta harus 'menurut' Sang Bapak, sungguh bukan pekerjaan mudah baginya. Man-fong lantas membawa sahabatnya, Lim Wasim, dan diusulkan jadi asistennya. Bung Karno tidak menolak. Lim Wasim adalah pelukis kelahiran Bandung 1929. Ia pernah belajar kepada Mochtar Apin, Abedy dan Sudjana Kerton. Dan kemudian melanjutkan belajarnya di Chang Yang I Shu Xue Yuan atau Institut Seni Sentral Beijing tahun 1950. Dan, pada tahun 1956, ia mengajar di Xian I Shu Xue Yuan, atau Institut Seni Provinsi Xian. Tahun 1959, kembali ke Indonesia. Bung Karno sendiri telah mengenal Wasim beberapa bulan sebelumnya. Waktu itu, 1960, Wasim sedang membantu Man-fong mengerjakan mural (lukisan dinding) Puspita dan Margasatwa di Hotel Indonesia. Hotel ini, atas instruksi Bung Karno sedang dikemas rapi untuk menyambut Asian Games IV,
Jakarta.
Di Istana Presiden, Man-fong mendapat gaji Rp 5.000 sebulan. Sedangkan Wasim Rp 4.000. Gaji ini sama dengan empat hari Wasim bekerja di sanggar Tjio Tek Djien, yang terletak di kawasan Cideng, Jakarta. Sebuah studio seni yang menstimulasi para pelukis untuk berkreasi, yang pendiriannya atas dorongan Bung Karno pula. "Bekerja untuk Bapak sama dengan sekolah mencintai seni. Lantaran itu saya tak pernah memikirkan gaji," kata Wasim.
Di Istana Wasim ternyata jauh lebih aktif dari Man-fong. Dan itu sudah diramalkan. Tugas Wasim seperti juga kerja utama Dullah dulu. Di antaranya yang paling membanggakan adalah tugas melukis sosok Bung Karno untuk dibawa Presiden ke luar negeri. Karena banyak kepala negara yang meminta gambar "Bung Karno Sang Kolektor" sebagai kenang-kenangan.
Ketika Bung Karno turun dari kekuasaan awal tahun 1966, koleksi yang ada sekitar 2.300 bingkai. Jumlah yang bukan main! Bahkan ada yang menyebut, inilah koleksi lukisan terbesar seorang Presiden di seputar Bumi, kala itu. Dan ketika kekisruhan politik dimulai, apa boleh buat, Lee Man-fong yang tak berpolitik terpaksa "lari" ke Singapura. Dullah selama beberapa tahun berdiam diri di rumah, lantaran diincar sebagai Soekarnois. Dan Lim Wasim? "Syukur saya tetap dipertahankan di Istana sampai tahun 1968. Tapi dengan pekerjaan yang tak jelas. Dan tiap pagi harus apel, tiap kali harus lapor," kisahnya.
Hasil pengabdian para pelukis Istana itu dinampakkan lewat buku monumental Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno. Yang pertama disusun Dullah, terbit dalam 2 jilid tahun 1956. Dan disusul dua jilid berikutnya 1961. Buku ini disempurnakan oleh Lee Man-fong, dan terbit 1964 dalam lima jilid. Lalu jilid VI sampai X disusun oleh Lim Wasim, yang rencananya diluncurkan pada ulang tahun Bung Karno 6 Juni 1966. Sayang kekacauan politik meledak, dan proyek prestisius yang sudah sampai tahap blue print itu batal.
Pada 20 Juni 1970 Bung Karno wafat. Banyak orang mengatakan bahwa Bung Karno pergi karena sakit fisik lantaran politik. Namun tiga pelukis Istananya memperkirakan, Bung Karno wafat karena dirundung "kesedihan lukisan". Bayangkan, selama lebih dari 40 bulan Bung Karno dipisahkan dengan koleksi seninya. Dan itu adalah ribuan anak-anak emasnya, buah-buah spiritualnya, yang diburu dan dipeluk selama duapertiga hidupnya!
Penulis : Agus Dermawan T Penyusun buku Dullah, Lee Man-fong, Lim Wasim, dan Koleksi Istana Presiden RI.
sumber :
Harian Kompas, 1 Juni 2001http://www.gentasuararevolusi.com
No Response to "Bung Karno dan Tiga Pelukis Istana"
Posting Komentar