Mengerikan. Sebuah “kuburan massal” akan menganga bagi 29 partai politik (parpol), jika hanya 9 parpol peserta Pemilu 2009 yang lolos ke DPR RI di Senayan.
Begitulah, ancaman yang disodorkan oleh regulasi parliament threshold, yakni hanya parpol peraih kursi 2,5% saja yang berhak duduk di kursi DPR.
Fenomena itu menakutkan. Mengapa orang ramai-ramai mendirikan parpol, jika lalu (sebagian) menggali kuburnya sendiri? “Maut” memang penting karena mengingatkan betapa berharganya “hidup” seperti kerap disuarakan oleh kaum eksistensialis, macam Sartre dan Albert Camus.
Beberapa zaman telah berkisah tentang berdirinya organisasi politik (orpol), tapi kemudian “mati” disebabkan tindakan represif rezim berkuasa, dan inilah mungkin boleh disebut dengan “pembunuhan” vertikal. Gejala ini terjadi di zaman kolonial Belanda, diteruskan oleh Orde Lama dan Orde Baru.
Sejarah parpol di negeri telah menyaksikan drama pembubaran Masyumi, PSI, PKI dan beberapa orpol di masa pergerakan sebelum kemedekaan 1945.
Namun akan “terkuburnya” parpol paska Pemilu 2009 menjadi menarik justru terjadi karena “penghukuman”-nya dilakukan oleh masyarakat pencontreng, dan inilah tindakan horisontal.
Akibat yang tragis itu tak bisa dilepaskan dari penyebabnya secara struktural, dan dengan demikian mendorong kajian ulang, mengapa orang ramai-ramai mendirikan parpol bagaikan jamur berkembang di musim hujan?
Kaum Intelektual
Syahdan, Ratu Belanda berpidato tentang dimulainya era baru dalam sejarah Hindia Belanda pada 1901. Kerajaan bermurah hati memikul kewajiban memajukan penduduk pribumi.
Kita ingat politik hutang budi, yang menghasilkan kaum intelektual Indonesia setelah diperbolehkan menikmati pendidikan di Hindia Belanda, dan bahkan ke Eropa, seperti dialami Bung Hatta dan Bung Sjahrir.
Hati kita menangis jika mengenang anak bangsa dijajah sejak masa VOC pada abad ke 16 hingga ke masa Tanaman Paksa yang berlumuran darah, airmata dan jiwa. Lepas apakah “hutang budi” sudah tunai atau tidak, tetapi politik etis itu telah menjadi bumerang bagi kaum kolonial.
Boedi Utomo, SI, Muhammadiyah, Indische Partij dan lainnya berdiri di awal abad 20. Kaum elit pribumi bergerak menggugat kemerdekaan. Demam mendirikan orpol beranak pinak, yang disusul berdirinya PNI, PKI, Partindo, termasuk suratkabar yang menggelorakan Indonesia merdeka. Sang kolonial resah dan mulai melakukan represi. Ada yang kemudian ditangkap, diadili dan dibuang ke Pulau Buru.
Telanjur sudah. Bahkan Volksraad (Dewan Rakyat) pun dibentuk pada 1918, walau mulanya tidak demokratis, tetapi kaum pribumi duduk di dalamnya bersama anak bangsa Belanda dan Tionghoa.
Sejarah mencatat, lahirlah Petisi Soetardjo pada 1936 yang menghendaki kemerdekaan Indonesia dalam batas UUD Belanda, meski ditolak Menteri Kolonial Belanda pada 1938. Belakangan muncul pula Masyumi, PSI dan sebagainya.
Jika boleh dirumuskan, lokomotif pergerakan politik masa itu adalah kaum intelektual yang berpendidikan modern, yang terbuka matanya betapa menderitanya kita menjadi bangsa terjajah. Musuh bersama, kala itu adalah kolonialisme.
Multi Partai
Demam mendirikan orpol juga bangkit setelah Indonesia merdeka melalui Maklumat Wakil Presiden, yang dalam prosesnya berjumlah seratus lebih menjelang Pemilu 1955. Pendirinya masih kaum intelektual generasi kedua setelah generasi pertama yang bangkit di awal abad ke 20. Tujuannya, mengisi kemerdekaan 1945.
Namun setelah penyerahan kedaulatan 1949-1950, musuh bersama sudah pergi. Era perebutan kekuasaan pun bermula. Bung Karno sempat menyalahkan Bung Hatta sebagai akibat dari Maklumat Wapres tersebut. Bung Hatta menjawab, bukan partainya yang salah melainkan para elit politiknya yang berkejar-kejaran semata demi kekuasaan.
Tak heran jika kabinet jatuh bangun. Korupsi mulai merasuki elit parpol yang masuk ke struktur kekuasaan.
Dekrit Presiden pada 1959, yang membubarkan Konstituante (MPR) dan disusul pembubaran Partai Masyumi dan PSI, mengulangi represi ala kolonial tak menyelesaikan soal, dan belakangan tampillah Orde Baru yang mengoreksi Orde Lama era Soekarno.
Tapi Orde Baru yang semula penuh harapan kembali mengulangi represi kolonial. Partai dibonsai menjadi tiga, Golkar, PPP dan PDI. Konsentrasi kekuasaan di bidang politik, disusul di bidang ekonomi, kemudian hancur berkeping-keping pada reformasi 1998 lalu.
Tak pelak, fenomena sistem multipartai pun berulang seperti di awal republik ketika berusia balita. Sejak Pemilu 1999, 2004 dan 2009, jumlah kontestan menjadi 38 parpol.
Apa gerangan motifasi para aktor politik mendirikan parpol di musim reformasi ini? Apakah sudah bergeser dari sejarah berdirinya orpol pada 1908 dan 1920-an yang masih mempunyai public enemy (musuh bersama)? Apakah mirip berdirinya orpol setelah Maklumat Wapres pada 1945 lalu? Yakni, kekuasaan dan kekuasaan?
Kekuasaan
Mengutip Bung Karno, revolusi sudah selesai. Sebutlah misalnya demokratisasi di bidang ekonomi, karena di bidang politik relatif sudah lumayan.
Perekonomian masih tergantung kepada asing. Bahkan antara pelaku ekonomi kelas menengah ke atas, BUMN, koperasi dan UKM belum terkondisikan dalam suatu iklim demokratisasi ekonomi. Publik mungkin tidak merasakannya karena sudah terbiasa dengan gaya Orde Baru selama empat dasawarsa yang panjang.
Jurang kaya miskin antarindividu dan antarpelaku ekonomi dianggap soal biasa, hanya soal nasib. Bukan karena system yang belum melaksanakan demokratisasi ekonomi. Inilah, musuh bersama, yang ironisnya tak dilihat banyak aktor parpol.
Misalkan, orpol berkesadaran tinggi akan demokratisasi ekonomi muncul pada 1999, waktu 10 tahun sudah memadai jika dibarengi dengan pendidikan politik, baik kader dan massa, seperti ditempuh oleh generasi Bung Karno dan Bung Hatta. Sekaligus membedakannya dengan orpol ala Orde Baru.
Kita semestinya merasa “terjajah” oleh sistem perekonomian ala Orde Baru, seperti merasa terjajah oleh sang kolonial di masa silam. Inilah, semestinya “lagu” parpol zaman ini. Bukannya, malah ikut “menikmati” dan akan benar-benar ”menikmati” jika tiba masanya benar-benar berkuasa pula.
Sayangnya, masyarakat pun terninabobokan oleh mayoritas orpol, yang tak beda dengan ala Orde Baru, sehingga mau tak mau orientasinya hanya kekuasaan belaka. Masyarakat pun berpikiran pragmatis mengikuti arus parpol, sehingga parpol yang paling banyak menghabiskan biaya dalam kampanyenya pun terkonfigurasi dalam the Big Five atau the Big Ten Pemilu 2009.
Tema Zaman
Toh, polarisasi mulai terjadi. Golkar dan PDIP “disalib” oleh Demokrat, meskipun fenomena ini perlu diuji. Apakah karena Demokrat partai incumbent, kekecewaan kepada PDIP dan Golkar, pragmatisme rakyat, atau apa gerangan?
Terus terang konsolidasi dan kaderisasi Demokrat tidaklah luar biasa. Diakui keunggulan Demokrat adalah figur SBY, tapi kok melonjak dari 7,45% menjadi 20-an%? Jangan-jangan degradasi Golkar dan PDIP bisa menimpa Demokrat pada Pemilu 2014.
PKS lain pula. Parpol dengan kader dan massa solid ini tak mengandalkan figur tapi bisa meninggalkan PAN, PKB dan PPP. Adapun Hanura dan Gerindra boleh jadi karena figurnya yang mantan jenderal membuat mobilisasinya lebih rapi sehingga muncul di the Big Ten.
Gerinda memang mencoba melambungkan demokratisasi perekonomian, namun baru sebatas jargon, dan belum merasuk ke massa, termasuk ke masyarakat pencontreng yang sudah terbiasa dengan pragmatisme Orde Baru.
Tampaknya, bangsa ini perlu 10 tahun lagi menunggu parpol yang menyahuti tema zaman, sehingga zaman pun mengelu-elukannya dengan antusiasme. Saat itu, parpol gaya lama akan “terkubur” digantikan yang berorientasi demokratisasi ekonomi. Tengok, monopoli elit kapitalisme dan liberalisme pun sudah terkubur di Amerika Serikat. ***
Oleh : Bersihar Lubis
No Response to "KUBURAN PARPOL"
Posting Komentar