MENELUSURI SEJARAH KAMPUNG LAUT


Kampung Laut adalah sebutan untuk seluruh pemukiman yang berada di Segara Anakan, yaitu kawasan perairan yang terletak di antara daratan Cilacap sebelah Barat dengan Pulau Nusakambangan
Sejarah dan Pola Pemukiman

Menurut cerita rakyat yang sampai sekarang masih dipercaya kebenarannya oleh masyarakat setempat. Penduduk asli Kampung Laut adalah anak keturunan dari para prajurit Mataram. Para prajurit Mataram pada waktu itu datang ke daerah Kampung Laut untuk mengamankan daerah perairan Segara Anakan dari gangguan bajak laut orang Portugis. Para prajurit itu dipimpin oleh empat orang wiratamtama, yaitu yang bernama Jaga Playa, Jaga Praya, Jaga Resmi dan Jaga Laut. Berkat kesaktian dari para wiratamtama itu maka perairan Cilacap dan Segara Anakan akhirnya aman, bebas dari gangguan bajak laut.

Setelah keadaan aman, ternyata para wiratamtama dan anak buahnya itu tidak mau kembali ke pusat kerajaan Mataram, melainkan tetap tinggal di kawasan Cilacap dan sekitarnya misalnya Jaga Playa dan Jaga Praya kemudian bermukim di daerah yang sekarang disebut Klapalima, sementara itu Jaga Resmi dan Jaga Laut memilih tinggal di Pulau Nusakambangan. Jaga Resmi bermukim di daerah yang kini disebut Legok Pari, sedangkan Jaga Laut bertempat tinggal di Gebang Kuning atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kembang Kuning.

Ketika supremasi Kerajaan Mataram makin melemah dan akhirnya dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, banyak daerah yang tadinya merupakan daerah kekuasaan Mataram, beralih menjadi kekuasaan Hindia Belanda. Demikian Cilacap dan Nusakambangan waktu itu juga di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dipilih untuk pembuangan orang-orang yang dianggap melanggar hukum dan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.

Para narapidana yang ada di Nusakambangan waktu itu belum diurus dengan baik oleh pemerintah Hindia Belanda, sehingga tidak sedikit dari mereka yang mengganggu penghuni-penghuni Pulau Nusakambangan sebelumnya, yaitu anak-anak keturunan Jaga resmi dan Jaga Laut dan anak buahnya. Karena itu mereka lalu menyingkir dari Pulau Nusakambangan, dan membuat rumah-rumah tempat tinggal mereka di laut Segara Anakan. Di Segara Anakan ini kemudian berdiri kelompok-kelompok pemukiman yang berupa kumpulan rumah tinggal, rumah tinggal yang berujud rumah panggung. Sejalan dengan perkembangan jaman, masing-masing kelompok perumahan itu makin berkembang, sehingga akhirnya membentuk sesuatu kampung. Kampung-kampung seperti itu tersebar di kawasan Segara Anakan. Karena kampung-kampung itu berada di perairan laut ( Segara Anakan ), maka kemudian disebut Kampung Laut. Nama lain dari Kampung Laut adalah Bejagan atau Pejagan. Nama ini juga terkait dengan cerita diatas, bahwa Segara Anakan adalah tempat para prajurit kerajaan Mataram melakukan penjagaan agar daerah ini aman, bebas dari gangguan para bajk laut.

Pada masa kemerdekaan, beberapa perkampungan yang saling berdekatan bergabung menjadi suatu kelurahan atau desa. Secara administratif Kampung Laut sekarang terbagi menjadi tiga wilayah desa, yaitu Ujungalang, yang terletak di Selatan, Ujunggagak atau Karanganyar disebelah barat dan Panikel yang berada di Sebelah Utara.

Hingga tahun 1970 an sampai awal tahun 1980 an rumah-rumah tempat tinggal di Kampung Laut masih berupa rumah panggung. Rumah-rumah itu wujudnya seperti rumah-rumah Jawa pada umumnya, yaitu berbentuk segi empat dengan atap model Kampung Srotong atau Limasan, dibangun di atas tiang-tiang kayu tancang. Tinggi tiang-tiang penopang ini berkisar antara 4 hingga 7 meter, yang ditancapkan ke dasar laut pada waktu air surut. Kerangka rumah umumnya terbuat dari kayu tancang, yang waktu itu mudah didapat di hutan-hutan bakau. Ada juga yang menggunakan balok atau papan kayu laban atau jenis kayu yang lain yang dapat diperoleh dari Nusakambangan. Lantai dan kerangka atap (kaso dan reng) umumnya juga dari kayu tancang, yang berukuran kecil dan lurus-lurus. Dinding rumah cukup bervariasi. Ada yang terbuat dari papan kayu atau gebyok, ada yang terbuat dari bamboo yang dianyam, atau ada pula yang berupa welit atau kajang, yaitu anyaman daun nipah. Atap umumnya berupa welit daun nipah atau seng. Atap genteng tidak disukai karena berat. Pola letak perumahan umumnya berderet memanjang. Bila ada dua deret, maka rumah-rumah yang ada di deret yang satu, akan dibangun menghadap pada deret yang lain, dan diantara dua deret rumah itu ada jalur jalan seperti jembatan, yang juga terbuat dari kayu. Suatu kampung dapat terdiri dari 4 deret rumah atau lebih.

Menjelang tahun 1980-an rumah-rumah panggung seperti tersebut di atas makin menghilang. Penyebabnya, kecuali orang makin sulit mendapatkan kayu tancang atau kayu-kayu jenis lain yang dipandang baik untuk bangunan rumah, juga makin cepatnya laju pendangkalan laut sebagai akibat dari sedimentasi Lumpur yang setiap saat ditumpukkan oleh sunga0sungai yang ada di sebelah Utara Segara Anakan. Menghadapi situasi yang demikian itu, ada orang yang tidak mengganti tiang-tiang penopang rumahnya yang rusak dengan kayu, emalinkan kemudian meguruk kolong rumah panggungnya dengan tanah yang diambil dari Nusakambangan atau memanfaatkan tanah timbul. Sedikit demi sedikit, kolong rumah yang tadinya berupa ruangan yang berair, makin terisi dengan tanah. Akhirnya seluruh kolong rumah terisi dengan tanah. Keberhasilan menguruk kolong-kolong rumah itu kemudian ditiru oleh seluruh warga kampung. Bahkan kolong-kolong jembatan yang untuk jalan, secara gotong royong juga diurug, sehingga akhirnya seluruh areal tempat pemukiman itu menjadi daratan. Dewasa ini sudah sulit untuk mendapatkan rumah panggung yang berdiri di atas air laut.

Bentuk atau model bangunan rumahpun banyak yang berubah, berganti dengan bentuk atau model rumah-rumah modern sebagaimana yang terdapat di kota-kota. Bahan-bahan bangunan rumah tidak lagi didominasi oleh bahan kayu. Bahan kayu umumnya hanya untuk kerangka atap dan kusen-kusen. Lantai yang dulu kayu sekarang telah diganti dengan semen atau keramik. Demikian pula dindingnya. Atap yang dulu berupa seng atau welit, sekarang umumnya berupa genteng dari tanah liat.

Walaupun dalam bentuk dan bahan bangunan rumah telah banyak mengalami perubahan, tetapi dalam pola tata letak perumahan, terutama di pemukiman-pemukiman yang penghuninya yang bermata pencaharian sebagai nelayan, masih banyak yang mengikuti pola lama. Seperti telah disebutkan diatas, pola tata letak perumahan model lama adalah pola berderet. Dalam satu deret rumah-rumah menghadap kea rah yang sama. Dihadapan rumah-rumah itu ada jalan umum. Jalan ini juga akan menajdi patokan untuk menghadapkan rumah-rumah yang berada di deret di hadapannya, sehingga terbentuk pola tata letak perumahan dua deret dimana tengahnya terbentang jalur jalan umum.

Untuk kepentingan kemudahan tranportasi air, dibelakang rumah-rumah yang berderet itu dibuat saluran air atau parit yang menghubungkan pemukiman itu ke laut. Dermaga-dermaga kecil terletak dibelakang rumah-rumah tinggal. Jadi kalau jalan darat berada di antara dua deret rumah yang saling membelakang (Ungkur-ungkuran, red : Bahasa Jawa ).

Kondisi Geografis dan Ekologis

Secara geografis posisi Kampung Laut atau Segara Anakan berada di sebelah Barat Kota Cilacap. Untuk menuju ke daerah itu kita dapat menggunakan perahu motor atau compreng, angkutan umum dari pelabuhan Sleko Cilacap. Untuk sampai di desa terdekat, yaitu Ujungalang, memakan waktu sekitar satu hingga dua jam.

Segara Anakan itu sendiri adalah suatu laguna yang dalam hubungannya dengan Samudera Hindia dipisahkan oleh pulau Nusakambangan. Akibat dari adanya Pulau Nusakambangan itu maka, keganasan ombak Samudera Hindia menjadi terhalang, sehingga keadaan perairan di Segara Anakan relatif tenang. Air laut Samudera Hindia masuk ke laguna ini melalui plawangan atau pintu selat Nusakambangan baik yang ada di ujung Timur maupun di ujung Barat. Di Segara Anakan, air laut Samudera Hindia itu bertemu dengan air tawar yang ditumpahkan oleh sungai-sungai yang mengalir dari daratan tinggi disebelah Utara, misalnya sungai Citandui, sungai Cibeureum, sungai Cikonde, sungai Cemeneng, dan lain-lain.

Sungai-sungai tersebut, kecuali memasok air tawar, juga terlebih pada waktu musim penghujan menumpahkan Lumpur-lumpur hasil erosi tanah daratan, ke Segara Anakan. Akibatnya, Segara Anakan makin hari makin bertambah dangkal. Di sana-sini kemudian muncul tanah timbul atau mud island. Ditanah timbul itu kemudian tumbuh tumbuhan dari jenis-jenis Mangrove. Kalau dulu sebelum tahun 1970-an desa Panikel yang berada di ujung Utara orang memandang ke Selatan, akan melihat secara jelas hutan di pulau Nusakambangan. Dari desa Panikel orang juga dapat melihat desa-desa lain seperti Muara Dua, Karanganyar, Majingklak, dan lain-lain. Tetapi sekarang tidak lagi dapat dilihat, karena pemandangan telah terhalang oleh hutan-hutan mangrove yang tumbuh di areal-arela tanah timbul.

Tanah timbul adalah daratan baru yang terbentuk karena tingginya laju sedimentasi di Segara Anakan. Setiap saat, lebih-lebih pada musim penghujan, sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan selalu mengangkut Lumpur dari hasil erosi di daratan di sebelah Utara. Akibatnya, perairan Segara Anakan makin dangkal dan beberapa tempat dangkalan ini berubah menjadi daratan. Disinilah kemudian timbul hutan-hutan Mangrove.

Hutan Mangrove di Segara Anakan tergolong mempunyai diversitas vegetasi yang tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP) UGM tahun 2001 – 2002, menunjukan bahwa di suatu kawasan hutan Mangrove di Segara Anakan, dapat ditemukan sekitar 30 spesies tumbuhan. Beberapa tumbuhan yang terdapat di hutan Mangrove di wilayah ini antara lain adal api-api (jenis avicenia yaitu : Avicenia Alba, Avecinia Marina, dan Avecenia Oficenalis), Bogem (Sconneratia Alba), bakau (ada dua macam yaitu Rizophora, Mucronata dan Rozophora Apiculata), tancang (Bruguirea sp), Nyirih (Xylocarpus Granatum), Nyuruh (Carberaodolam), nipah (Nypa Fructicans) dan lain-lain. Disamping itu juga masih termasuk tumbuh-tumbuhan Mangrove adalah jenis-jenis perdu seperti jrajon (Acanthus Ilicifolius), jrujon lanang (Acanthus Sp), krakas (Scripus Aurium), prepatan (Scripus Grossus), gadelan (Derris Heterophylla), wlingi (Fimbristttylis Feruginea) dan lain-lain. Sebagai ekosistem pasang surut, ekosistem hutan Mangrove akan didominasi air laut ketika air pasang, dan ketika air surut yang dominant adalah air tawar. Dengan demikian, komoditas hutan Mangrove mempunyai toleransi yang lebar terhadap perubahan salinitas.

Hutan Mangrove di Segara Anakan merupakan habitat dari berbagai satwa liar. Kalau kita berlayar dengan menggunakan jakung (perahu kecil) atau compreng (perahu yang berukuran lebih besar yang dapat mengangkut belasan orang penumpang) menyusuri kanal-kanal di sela-sela hutan Mangrove yang oleh masyarakat setempat disebut kali atau lorongan. Ditempat itu kita sering berjumpa dengan berbagai satwa liar. Monyet-monyet yang bergelantungan dipohon bogem atau api-api, lingsang yang dengan lincahnya menyelam dan mengapung dia ir tepian kanal, atau berbagai jenis burung seperti bangau, kunthul, cikakak, supiturang yang berbulu indah dan lain-lain dapat kita temui.

Sementara itu, perairan yang ada dibawah hutan Mangrove dapat dikatakan merupakan ekosistem yang kaya akan berbagai jenis plangton dan komonitas benthik yang produktifitas hasil laut yang tinggi. Jenis-jenis pohon tertentu di hutan Mnagrove (misalnya pohon bakau) dengan bentuk akarnya yang khas dapat berfungsi sebagai rumpon yang merupakan tempat yang cocok untuk pemisahan satwa liar. Oleh sebab itulah oleh para ahli biologi perairan Segara Anakan dapat dikatakan sebagai daerah asuhan (nursery ground) misalnya untuk berbagai jenis ikan, udang dan kepiting. Segara Anakan yang mempunyai dua plawangan (pintu)yaitu plawawangan timur dan plawangan barat di kedua ujung Pulau Nusakambangan, membuat kawasan ini mempunyai hubungan perairan yang langsung dengan Samudera Hindia. Pada waktu yang lalu, saat kedalaman perairan Segara Anakan dan plawangan-plawangannya masih cukup dalam, ikan-ikan pengembara (migratory species) dari berbagai lautan, banyak yang singgah di Segara Anakan. Mereka bersama-sama ikan-ikan lokal yang lain dapat memperoleh makanan di Segara Anakan.

(Sumber : Dari Berbagai Sumber)
http://www.cilacapmedia.com/index.php?view=article&catid=14%3Abudaya&id=778%3Amenelusuri-sejarah-kampung-laut&tmpl=component&print=1&page=&option=com_content&Itemid=8

No Response to "MENELUSURI SEJARAH KAMPUNG LAUT"

Posting Komentar

Operasional PPS Cilacap

My Photo

My Video's

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes